BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagaimana kita ketahui bahwa
Al-Qur’an merupakan Landasan pokok yang utama umat Islam, dengannya semua kaum
muslim berpijak baik dalam urusan duniawi maupun ukhrowi, dengannya kaum muslim
berpijak baik dalam urusan horizontal maupun vertical, dengannya kaum muslim
berpijak baik dalam urusan hidup secara individual maupun sosial. Namun
Al-Qur’an adalah kalam Allah Subhanahu wata’ala yang tidak bisa dipahami
begitu saja, butuh ‘ilmu untuk sampai kepada pemahaman terhadap maknanya, semua
ilmu yang dibutuhkan itu tercakup dalam satu istilah “Ulum at-Tafsir”, Ilmu
tafsir. Penggunaan tafsir (penafsiran terhadap al-AQur’an) ini telah ada sejak
masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in, Tabi’uttabi’in, hingga sekarang dan akan
berlangsung sampai yaumul akhir. Seiring dengan adanya proses perkembangan
zaman, yang mungkin bahkan pasti akan banyak perubahan situasi dan kondisi,
kebudayaan manusia semakin maju, teknologi semakin canggih, begitupun
transformasi informasi yang sangat cepat. Hal ini menjadi tantangan khususnya bagi
umat Islam dalam menjalani kehidupan dengan tetap memelihara nilai-nilai
keislamannya. Maka, agar Al-Qur’an mampu menyesuaikan dengan zaman, atau zaman
yang harus sesuai dengan Al-Qur’an, butuh pemahaman atau penafsiran yang sesuai
dengan kondisi yang dihadapi. Penafsiran yang disesuaikan dengan konteks social
ini sering disebut tafsir kontekstual. Tafsir kontekstual ini mulai dikenal
setelah munculnya ulama-ulama kontemporer, yang menampakan diri sebagai ulama
pembaharu. Penafsiran secara kontekstual pada saat ini sering disebut dengan
tafsir kontemporer.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas ada beberapa hal yang menjadi permasalahan,
yang akan menjadi tema sentral
pembahasan pada makalah ini.
1.
Untuk
lebih memahami pembahasan mengenai tafsir kontemporer, maka hal yang mendasar
yang harus dipahami lebih awal ialah apa pengertian Tafsir Kontemporer itu? Dan
apa yang membedakannya dengan penafsiran sebelumnya? Atau lebih mengkrucut lagi
apa yang menjadi ciri khasnya?
2.
Jika
makna sudah dipahami, maka proses pemahaman selanjutnya ialah mengenai proses,
yakni bagaimana proses sejarah tafsir Kontemporer ini? Dan apa yang mendasari
kemunculannya?
C.
Tujuan Penulisan
Dengan mengacu pada permasalah diatas, maka tujuan penulisan
makalah ini ialah:
1.
Mampu
memahami pengertian Tafsir Kontemporer baik dari segi Lughawi maupun istilahi,
selanjutnya mampu membedakannya dengan tafsir-tafsir sebelumnya serta
mengetahui hal yang menjadi ciri khasnya.
2.
Mampu
memahami proses perkembangan sejarah Tafsir kontemporer, serta mengetahui
hal-hal yang menjadi penyebab kemunculannya.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN DAN SEJARAH TAFSIR KONTEMPORER
A.
Pengertian Tafsir Kontemporer
Ada
dua kata yang terkandung dalam kalimat tersebut, yakni tafsir dan Kontemporer.
Secara etimologi, Tafsir berasal dari bahasa Arab تفسير atau berasal dari
kata ا فسر –فسر
artinya memeriksa-memperlihatkan, atau bermakna kata الايضاح
والشرح penjelasan atau
komentar.[1] Sedangkan
secara terminology tafsir adalah penjelasan terhadap kalamullah atau menjelaskan
lafazh-lafazh Al-Qur’an dan pemahamannya.[2]
Lebih jelas lagi, mari kita perhatikan beberapa terminologi dari
beberapa ulama:[3]
1.
Menurut
Syekh al-Jazairi dalam Shahih at-Taujih
“Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafazh yang sukar
dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya atau makna yang
mendekatinya atau makna yang mendekatinya, atau engan jalan mengemukakan
salahsatu dilalah lafazh tersebut”
2.
Menurut
az-Zarkasyi
“Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan
makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, serta menyimpulkan
kandungan-kandungan hokum dan hikmahnya.”
Jadi Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan
menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an,
khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam
memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa
Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur-an
dan isinya.
Kata
selanjutnya ialah Kontemporer, dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
bermakna pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dewasa ini.[4]
Maka
dapat disimpulkan bahwa Tafsir Kontemporer ialah ‘Tafsir atau penjelasan ayat
Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini’. Pengertian
seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni ‘usaha untuk
menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan
mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta
kondisi sosial masyarakat.[5]
B.
Sejarah Perkembangan Tafsir Kontemporer
Segala sesuatu yang berkembang
tentunya memiliki proses perubahan bentuk atau hanya perubahan sifat-sifatnya.
Sebagaimana Al-Qur’an, bentuknya memang tidak berubah karena ia merupakan “teks
baku” atau “teks Mati” seiring berhentinya proses pewahyuan, sehingga tidak
lagi dapat berkembang guna menjawab persoalan kehidupan manusia sebagaimana
terjadi pada saat proses pewahyuan. Namun, makna yang terkandung didalamnya
akan tetap sejalan dengan perkembangan zaman, karena sebagaimana kita yakini
bahwa Al-Qur’an ialah Rahmatan lil’alamin, rahmat bagi semua manusia
bahkan semua makhluk yang ada di muka bumi. Tentunya tidak hanya dilihat dari
sisi kata rahmatan lil’alamin, namun
juga perlu dilihat dari sisi proses pen-sejalanannya dengan perubahan zaman.
Ini tiada lain adalah metode pemaknaan (penafsiran) terhadap ayat-ayat al-Qur’an
sendiri dengan tetap mengacu pada aturan-aturan penafsiran yang telah
disepakati ulama. Model penafsiran seperti ini disebut dengan tafsir
kontekstual. Penafsiran kontekstual ayat sebetulnya sudah ada sejak masa Islam
awal bahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Maka penafsiran kontekstual dipakai
oleh muslim salaf (klasik) dan
Muslim Khalaf (Kontemporer).
Selanjutnya akan kita bahas beberapa tinjauan tentang sejarah
perkembangan tafsir ini yakni dari segi Corak penafsiran, Kodifikasi
Tafsir dan terakhir ditinjau dari metode penafsiran
1.
Perkembangan
Tafsir ditinjau dari Corak Penafsiran
1.1. Masa Klasik (salaf)
Sebagaimana
kita ketahui bahwa pada masa proses pewahyuan berlangsung, nabi Muhammad SAW
sebagai penafsir atau mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an terutama
yang bersifat samar, hal ini berlangsung sampai wafatnya beliau, namun harus
kita akui bahwa riwayat-riwayat tentangnya tidak sampai kepada kita atau memang
penafsiran-penafsiran beliau tidak mencakup seluruh Al-Qur’an. Sehingga
sepeninggal Rasulullah para sahabat menafsirkan Al-Qur’an melalui Ijtihad merka
sendiri terutama sahabat yang memiliki kemampuan dibidang itu seperti: 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas,
Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud.[6]
Selanjutnya
ada pula sahabat yang menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an
terutama sejarah atau kisah-kisah para nabi yang tercantum dalam Al-Qur’an
kepada Ahlul Kitab yang telah memeluk Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab
al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang menjadi cikal bakal Israiliyat.[7]
Para
sahabat yang tersebut diatas mempunyai murid-murid dari kalangan tabi’in, yang
kemudian lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dikalangan tabi’in seperti (a) Said
bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu
'Abbas; (b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu
berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan (c) Al-Hasan al-Bashriy, Amir al-Sya'bi, di
Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan
dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasulullah SAW, penafsiran
sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok
yang dinamai Tafsir bi al-Ma'tsûr. Dan masa ini dapat dijadikan periode
pertama dari perkembangan tafsir.
1.2. Masa Kontemporer (Khalaf)
Setelah berakhirnya periode pertama
sekitar tahun 150 H, maka mulailah periode selanjutnya yang diawali dengan
proses perkembangan hadits yang cepat, saat itu bermunculan hadis-hadis palsu
dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin
menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau
dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan tabi'in.
Pada
mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat
terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung
oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat,
berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam
penafsiran ayat-ayat al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau
penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Corak-corak
penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: (a) Corak sastra bahasa, yang
timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan
kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman
arti kandungan al-Quran di bidang ini. (b) Corak penafsiran ilmiah, akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Quran
sejalan dengan perkembangan ilmu. (c) Corak fiqih atau hukum, akibat
berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap
golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan
penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum. (e) Corak selanjutnya
yakni lebih terfokus pada sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir
yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Quran yang berkaitan langsung
dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi
penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat,
dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah
dimengerti tapi indah didengar. Salah satu tokoh corak ini ialah Syaikh Muhammad
'Abduh (1849-1905 M).[8]
2. Kodifikasi
Tafsir
Kalau yang digambarkan di atas
tentang sejarah perkembangan Tafsir dari segi corak penafsiran, maka
perkembangan dapat pula ditinjau dari segi kodifikasi (penulisan), hal ini
dapat dilihat dalam tiga periode: Periode I, yaitu masa Rasulullah SAW,
sahabat, dan permulaan masa tabi'in, di mana Tafsir belum tertulis dan secara
umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan
kodifikasi hadis secara resmi pada masa pemerintahan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz
(99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis-hadis,
dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadis, walaupun tentunya penafsiran
yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi al-Ma'tsur. Dan periode III, dimulai
dengan penyusunan kitab-kitab Tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang
oleh sementara ahli diduga dimulai oleh al-Farra (w. 207 H) dengan kitabnya
yang berjudul Ma'ânî al-Qur'an.
3. Metode
Tafsir
Walaupun disadari bahwa setiap
mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain.
Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan
Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat
al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf
Penafsiran yang berdasar perurutan
mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk al-Quran terpisah-pisah, serta
tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu
masalah dalam al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa
surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat
al-Baqarah, Ali 'Imran, dan ar-Rûm, sehingga untuk mengetahui pandangan
al-Quran secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat
tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama,
khususnya asy-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun
masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang
mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun
kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang
dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat,
tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat,
kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat
tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut
belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk al-Quran dipaparkan dalam bentuk
menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan
dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat
yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan
yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir
dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam
puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy
gaya Mahmud Syaltut di atas.
Dengan demikian, metode mawdhu'iy
mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat
dalam al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang
merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang
beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan
tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kedua, penafsiran yang
bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Quran yang membahas satu masalah tertentu
dari berbagai ayat atau surat al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai
dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari
ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Quran secara utuh tentang masalah
yang dibahas itu.
DAFTAR PUSTAKA
………………Kamus
Besar Bahasa Indonesia Digital v1.3
A.W
Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap, Bandung: Pustaka
Progresip, 1997.
Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998
D.R. Rosihon Anwar, M. Ag., Ulum
Al-Qur’an, Bandung: CP PUSTAKA SETIA, 2010.
http.sejarah perkembangan tafsir_Dr.M.
Quraisy Shihab. diunduh 27-09-2012
[1]
A.W Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap, (Pustaka
Progresip, 1997) hal. 1005
[2] Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar
al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, (Kuwait: Daar al-Dakwah,
1405) hal. 8 (google com.)
[3]
D.R. Rosihon Anwar, M. Ag., Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CP PUSTAKA SETIA,
2010), hal. 210
[4]
…….., Soft war KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) v1.3
[5]
Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998) hal.
93
[6] Ibid.
hl. 71
[7] Ibid.
[8] Ibid.,
hl. 73
Betway casino review 2021 - jtmhub.com
BalasHapusWith an established 목포 출장샵 reputation as one of the best online betting sites in the world, the Betway 안산 출장안마 Group 경주 출장샵 provides 수원 출장샵 a platform to online betting 화성 출장샵 enthusiasts