Senin, 26 November 2012

al-'Ibrah biumum al Lafazh la biumum as Sabab


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sebagaimana kita ketahui bahwa Al-Qur’an merupakan pedoman umat Islam, dengannya kita berhujjah disetiap perbuatan yang kita lakukan. Namun karena al-Qur’an merupakan kitab yang diturunkan dalam bahasa Arab yang mempunyai nilai kebahasaan yang tinggi, bersifat global, dan multi makna, maka perlu ditafsirkan terlebih dahulu untuk kemudian diinterpretasikan dalam kehidupan kita. Para ulama sudah mempersiapkan keilmuan yang harus dimiliki untuk mampu menafsirkan al-Qur’an, yang kita kenal dengan Ulumul Qur’an. Baru kemudian akan dibahas di dalamnya tentang Qa’idah-qa’idah penafsiran, salah satunya ialah tentang Qaidah “al ibrah biumumil lafzhi la bikhushushis sababi” yang mana akan menjadi tema sentral pembahasan makalah ini.
Sebagaimana telah diketahui bahwa ayat di dalam al-Qur’an ada yang mempunyai asbabul nuzul dan ada yang tidak, dimana jumlah ayat yang tidak mempunyai asbabul nuzul lebih banyak, namun ketika ingin mencari makna dan kesimpulan ayat, hendaknya dengan melihat terhadap keumuman lafadz, maksud dari ayat bukan dari sebab diturunnya ayat.
Syaikh As-sa’di mengatakan bahwa kaidah ini dengan mengambil kesimpulan dari suatu ayat dengan melihat keumuman dari ayat bukan dari sebab turunnya suatu ayat, merupakan kaidah yang sangat bermanfaat. Ketika seseorang menguasai kaidah ini, niscaya akan bertambah padanya ilmu dan kebaikan yang banyak, namun jika tidak maka ia akan terjatuh kepada kesalahan dan kerancuan.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan al Ibrah biumumil lafzhi la bikhushushis sababi?
2.      Bagaimana penerapan kaidah tersebut dalam menafsirkan al-Qur’an yang Shihih? 

C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian kaidah alibrah biumumill lafzhi la bikhushushis sababi?
2.      Mampu menerapkan kaidah tersebut kedalam penafsiran ayat al-Qur’an?




























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Kandungan Kaidah
Al-‘Ibrah bermakna al-‘izhah yang berarti peringatan, tauladan atau pelajaran.[2] Maka al’ibrah biumumil lafzhi la bikhushushis sababi  ialah mengambil pelajaran atau hukum dari keumuman lafzh, bukan dari kekhususan sebab. Lebih jelasnya yakni bila sebuah ayat turun karena suatu sebab yang khusus sedangkan lafazhnya umum (general), maka hukum yang terkandung dalam ayat tersebut mencakup sebabnya tersebut dan setiap hal yang dicakup oleh makna lafazhnya, karena al-Qur’an turun sebagai syari’at umum yang menyentuh seluruh umat sehingga yang menjadi tolok ukur/standar adalah keumuman lafazhnya tersebut, bukan kekhususan sebabnya.[3]
Ada 3 pokok kandungan yang terambil dari kaidah Al-Ibrah bi umumil-lafdz la bi khusus as-sabab :
1.         Yang  jadi hujjah adalah lafaznya bukan peristiwa yang mengitari ayat itu.
2.         Lafazh haruslah diberlakukan secara umum, kecuali ada dalil yang mengharuskan ia dipahami khusus.
3.         Para sahabat salalu berhujjah dengan lafaz umum, walaupun mereka sudah tahu sebab-sebab khususnya.
Syaikh As-sa’di mengatakan bahwa kaidah ini dengan mengambil kesimpulan dari suatu ayat dengan melihat keumuman dari ayat bukan dari sebab turunnya suatu ayat, merupakan kaidah yang sangat bermanfaat. Ketika seseorang menguasai kaidah ini, niscaya akan bertambah padanya ilmu dan kebaikan yang banyak, namun jika tidak maka ia akan terjatuh kepada kesalahan dan kerancuan.[4]
Kaidah ini merupakan kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama dan mereka bersepakat atas benarnya kaidah ini. Dimana kesimpulan dan makna suatu ayat tidak hanya dibatasi dengan asbabul nuzulnya suatu ayat, akan tetapi melihat secara umum maksud ayat yang diinginkan. Sehingga ketika suatu ayat mempunyai asbabul nuzul, bukan berarti ayat itu hanya khusus diperuntukkan bagi orang yang terlibat di dalamnya, begitu pula ketika asbabul nuzul suatu ayat berkaitan dengan para sahabat, bukan berarti maksud dari ayat tersebut adalah hanya untuk para sahabat. Akan tetapi semua ayat, baik yang mempunyai asbabul nuzul ataupun tidak, maka hal tersebut diperuntukkan bagi seluruh manusia, tidak hanya terbatas pada sahabat atau orang-orang pada jaman mereka, akan tetapi diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di setiap tempat dan waktu.[5] Allah berfirman :
#x»yd ×b$ut/ Ĩ$¨Y=Ïj9 Yèdur ×psàÏãöqtBur šúüÉ)­GßJù=Ïj9 ÇÊÌÑÈ  
“(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Imran: 138)[6]
B.       Penerapan Kaidah

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa penerapan kaidah tersebut hanya berlaku pada ayat yang mempunyai asbab an nuzul dan yang menjadi acuannya adalah keumuman lafazhnya bukan sebab yang melatarbelakanginya.      
Sebagai contoh adalah ayat tentang masalah Li’ân yaitu firman Allah SWT.:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#ypkà­ HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ  
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.” (Q.S. an-Nûr: 6)[7]

Tampak di sini bahwa sebab turun ayat bersifat khusus, yaitu tuduhan Hilal terhadap istrinya. Akan tetapi, ayatnya turun dengan lafal umum. Lafal al-ladziina adalah isim maushul. Isim maushul termasuk diantara bentuk-bentuk lafal umum. Ayat ini menjelaskan hukum mula’anah tanpa takhshish atau pengecualian. Dengan keumumannya, hokum ini mencaup orang-orang yang menuduh istri mereka dan tidak dapat menghadirkan saksi-saksi untuk tuduhan tersebut, baik Hilal ibn Umayah sebagai orang yang menjadi sebab turun ayat maupun lainnya. Dalam menerapkan hokum ini kepada selain Hilal tidak diperlukan dalil yang lain berupa qias (analogi) atau lainnya. Bahan hukumnya ada dengan keumuman nash ayat.[8]
Di dalam kitab Shahîh al-Bukhâriy dari hadits yang diriwayatkan Ibn ‘Abbas RA., bahwasanya Hilal bin Umayyah telah menuduh isterinya berzina dengan Syuraik bin Sahma’ di sisi Rasulullah SAW. Lalu beliau berkata, “Datangkan buktimu atau punggungmu akan dicambuk (hukum Hadd).”

     Lantas Hilal berkata, “Demi Dzat Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya aku benar-benar jujur. Mudah-mudahan Allah menurunkan ayat yang dapat membebaskan punggungku dari cambuk (Hukum Hadd), lalu turunlah Jibril dan menurunkan firman-Nya (artinya), “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina)” dengan membacanya hingga akhir ayat, “jika dia termasuk orang-orang yang benar.”
     Ayat-ayat tersebut turun karena satu sebab, yaitu Hilal bin Umayyah menuduh isterinya berzina akan tetapi hukumnya mencakup dirinya dan orang selainnya. Dalil penguatnya adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dari Sahl bin Sa’d r.a., bahwasanya ‘Uwaimir al-‘Ijlaniy telah datang menghadap Nabi SAW., seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau ada seorang laki-laki mendapati seorang laki-laki yang lain bersama isterinya (maksudnya, melakukan zina-red.,), apakah dia harus membunuhnya lalu kalian membunuhnya setelah itu, atau apa yang harus diperbuatnya?.”
     Nabi SAW., bersabda, “Allah telah menurunkan al-Qur’an mengenaimu dan istermu itu.” Kemudian beliau memerintahkan mereka berdua (suami-isteri) agar melakukan Mula’anah (saling melaknat satu sama lain) terhadap hal yang telah Allah sebutkan di dalam kitab-Nya, lalu dia (Hilal) melakukannya terhadap isterinya tersebut.”
     Jadi, disini Nabi SAW., telah menjadikan hukum yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut mencakup Hilâl bin Umayyah (yang merupakan sebab pertamanya-red,) dan juga orang selainnya.
Contoh ayat yang berkaitan dengan hal tersebut adalah sebagaimana yang ditulis oleh az-Zarqani bahwa ayat yarmuna Azwajahum. Ayat tersebut turun berkaitan dengan kasus li’an Hilal bin Umayah terhadap istrinya yang menjadi sebab khusus turunya ayat tersebut. Akan tetapi ayat tersebut turun dengan lafaz yang umum; karena itu hukum yang dikandungnya dapat diterapkan pada kasus lain yang serupa tanpa melalui qiyas.
Perhatikan pula tentang Zamaksyari dalam menafsirkan surat Al-Humazah mengatakan bahwa surat ini diturunkan karena sebab khusus, namun ancaman hukuman yang tercakup didalamnya berlaku umum, mencakup semua orang yang berbuat kejahatan yang disebutkan. Ibnu Abbas pun mengatakan bahwa ayat 5:8 tentang kejahatan pencurian berlaku umum, tidak hanya bagi pelaku pencurian seorang wanita dalam asbab an-nuzul itu.[9]
Contoh lain dari penerapan kaidah ini ialah kasus Salman Ibn Shakhar mengenai zhihar, ayat qadzap dalam kasus tuduhan terhadap ‘Aisyah, dan lain sebagainya.

























BAB III
KESIMPULAN
           
Kaidah al ‘ibratu biumumil lafzhi la bikhushushis sababi merupakan



























DAFTAR PUSTAKA

LPPA, Al-Qur’an Al-Kamil, CV Darus Sunnah: Jakarta Timur, 2010
Drs. Rosihon Anwar, M.Ag., Ulumul Qur’an, Pustaka Setia: Bandung, 2000
Drs. H. Ramli Abdul Wahid, MA., Ulumul Qur’an, , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,      rd. rev. 2002
http://ryper.blogspot.com, ushul-tafsir-3-kesimpulan-hukum-diambil, html, 2012/09
http://matericeramahdankultum.blogspot.com, keumuman-lafazh-dan kekhususan- sebab, html /2012/09



[1] http://ryper.blogspot.com/2009/11/ushul-tafsir-3-kesimpulan-hukum-diambil.html, di unduh 24 -11-2012
[2] A.W Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap, (Pustaka Progresip, 1997) hal. 888
[5] http://matericeramahdankultum.blogspot.com, op. cit.,         
[6] LPPA, Al-Qur’an Al-Kamil , (CV Darus Sunnah: Jakarta Timur, 2010) hal. 68
[7] Ibid,  hal. 351
[8] Drs. H. Ramli Abdul Wahid, MA., Ulumul Qur’an, Ed. Rev,(PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002) hal. 81
[9] Drs. Rosihon Anwar, M.Ag., Ulumul Qur’an (Pustaka Setia Bandung 2000) hal. 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar